Beranda | Artikel
Agar Ramadhan Bermakna Indah
Senin, 19 April 2021

AGAR RAMADHAN BERMAKNA INDAH

Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili

Pada kesempatan ini saya mengajak kepada diri saya dan para jamaah sekalian, agar meningkatkan takwa kepada Allah Azza wa Jalla. Yaitu dengan cara mengerjakan amalan-amalan yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjauhi hal-hal yang dilarangnya. Inilah yang bisa meningkatkan keimanan dan amal kita.

Ingatlah wahai ikhwani, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal“. [Al Baqarah/2 : 197].

Mengingat telah datangnya bulan Ramadhan, maka kami akan menerangkan beberapa materi berkaitan erat dengan bulan yang suci ini, sebagai upaya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa memberikan petuah kepada para sahabat saat Ramadhan tiba.

Bulan Ramadhan, benar-benar merupakan bulan yang sangat agung, bulan istimewa, menjanjikan pahala tiada terkira besarnya bagi orang yang memanfaatkannya dengan ibadah puasa.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan qiyamullail pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah semata, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau“.

Karena itulah, bulan Ramadhan ini merupakan salah satu kesempatan emas, sarat dengan kebaikan, satu masa yang menjadi ajang berlomba bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Ikhwani rahimanillahu wa iyyakum jami’an,
Sebagian ulama telah memberikan beberapa kiat dalam menyongsong musim yang penuh dengan limpahan kebaikan ini. Diantaranya:

Pertama : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengingatkan, dalam menyambut datangnya musim-musim ibadah, seorang hamba sangat memerlukan bimbingan, bantuan dan taufiq dari Allah. Caranya, (yaitu) dengan bertawakkal kepada Allah.

Salah satu teladan dari ulama Salaf, yakni sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba, mereka tekun berdoa dan memohon kepada Allah, agar dapat menjumpai bulan Ramadhan kembali dan memudahkan mereka dalam menggali keutamaannya. Ini merupakan salah satu cerminan berserah diri kepada Allah.

Beliau (Syaikhul Islam) menambahkan, dalam melaksanakan suatu ibadah, seorang muslim berkepentingan dengan beberapa poin (berikut) yang harus diperhatikan menjelang, saat berlangsung dan pasca pelaksanaannya.

  1. Mengenai hal yang dibutuhkan sebelum beramal ialah, menunjukkan sikap tawakkal kepada Allah dan semata-mata berharap kepadaNya, agar Dia senantiasa membantu dan meluruskan amalannya.

Ibnu Qayyim menyatakan, para ahlul ilmi telah bersepakat, bahwa salah satu indikasi taufiq Allah kepada hambaNya adalah pertolonganNya kepada hamba. Dan (sebaliknya), salah satu ciri dari kenistaan seorang hamba, yaitu orang yang hanya bermodalkan pada kepercayaan dan kemampuan dirinya semata.

Mengokohkan tawakkal kepada Allah merupakan modal paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah, guna menumbuhkan sikap ketidakberdayaan untuk menunaikan ibadah dengan sempurna, serta menyelamatkan diri dari kemungkinan terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kenistaan, apabila tidak mendapat anugerah taufiq dari Sang pencipta dalam beramal.

Selanjutnya, dia juga harus berdoa dengan penuh harap, supaya dapat bersua kembali dengan Ramadhan pada kesempatan yang akan datang. Juga agar Allah berkenan menolong dan meluruskan amalannya.

Langkah-langkah ini termasuk amalan yang paling agung, yang dapat mendatangkan taufiq Allah dalam menghidupi bulan Ramadhan.

  1. Saat penyelesaian ibadah, maka yang perlu diperhatikan seorang hamba ialah ikhlas dalam beramal dan ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Usai pelaksanaan ibadah, yang harus dikerjakan ialah memperbanyak istighfar (meminta ampun) atas kekhilafan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Disamping itu, juga harus memperbanyak pujian kepada Allah yang telah memberikan taufiq. Apabila seorang insan bisa memadukan antara hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh Allah.

Hal-hal di atas, betul-betul sangat perlu untuk diperhatikan, karena setan senantiasa mengintai manusia hingga detik-detik terakhir, bahkan setelah orang tersebut menyelesaikan ibadah sekalipun! Makhluk ini mulai mengungkit-ungkit ibadah seorang muslim, menghembuskan keragu-raguan serta tipu dayanya, dengan membisikkan “Hai fulan… kau telah berbuat begini dan begitu… kau telah berpuasa Ramadhan,…kau telah shalat malam di bulan suci ini… kau telah menunaikan amalan ini, itu dengan sempurna…”, dan dia terus mengungkap seluruh amalan yang telah dilakukan, sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub yang mengantarkannya ke lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seyogyanya kita tidak terjebak dengan jaring-jaring perangkap ‘ujub. Karena, orang yang terpukau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) dan amalan ibadahnya, pada dasarnya telah menunjukkan kenistaan dan kehinaan serta kekurangan diri dan amalannya.

Kedua : Sebelum Ramadhan tiba, hal lain yang harus dilakukan seorang hamba ialah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Banyak dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat. Diantaranya firman Allah Azza wa Jalla.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai“. [At Tahrim/66 : 8].

Masih banyak lagi ayat yang senada. Dan seorang muslim, pasti tidak lepas dari dosa ataupun kesalahan. Dosa hanya akan menjauhkannya dari taufiq, sehingga tidak kuasa untuk beramal shalih. Ini semua merupakan dampak buruk dari dosa yang diperbuatnya. Apabila ternyata dia mau bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka prahara ini akan sirna dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kembali menganugerahkan taufiq kepadanya.

Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya. Hakikatnya ialah bertaubat kepada Allah dari seluruh macam dosa. Sebagian ulama menjabarkan, taubat yang sempurna ialah taubat dari segala jenis dosa, bertekad bulat dan berniat kuat untuk tidak mengulangi dosa tadi. Jika dosa itu berkaitan erat dengan manusia (seperti mengambil barang dan lain-lain), maka dia harus mengembalikannya kepada sang pemilik.

Ada suatu kekeliruan yang harus diwaspadai, sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad untuk tidak berbuat maksiat, namun –ironisnya– hanya saat bulan Ramadhan saja. Ini merupakan perbuatan dungu …! Semestinya, bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari dosa serta meninggalkan maksiat tadi, seharusnya tetap menyala, baik saat Ramadhan maupun bulan-bulan selanjutnya. Tidaklah disebut dengan taubat sejati, apabila seseorang bertaubat di suatu waktu, kemudian ia melanggarnya kembali pada waktu lain. Taubat seperti ini tidak akan dikabulkan. Sebab, salah satu syarat terkabulnya taubat ialah, dengan bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa tadi.

Sisi lain yang harus mendapatkan perhatian, yaitu berusaha untuk membentengi ibadah puasa dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya, seperti  ghibah (menggunjing) dan namimah (mengadu domba). Dua “penyakit” ini sangat berbahaya, akan tetapi sangat disayangkan, sedikit orang yang menyadarinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan dusta, niscaya Allah tidak butuh kepada puasanya“.

Ahlul ilmi berbeda pandangan tentang makna hadits tersebut. Sebagian dari mereka melihat, bahwasanya ghibah dan namimah membatalkan pahala puasa, tidak menyisakan sedikitpun … ! Pendapat lainnya menyatakan, ghibah dan namimah mengurangi pahala puasa dan bahkan kadang-kadang hanya tersisa sedikit. Artinya ibadah puasanya tidak bermanfaat.

Orang yang mengekang lidahnya, tidak berbuat ghibah dan namimah ketika berpuasa Ramadhan tanpa diiringi amalan-amalan sunnah, ia lebih baik daripada orang yang berpuasa dengan menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun tidak berhenti dari dua kebiasaan buruk tadi. Demikian kenyataan mayoritas masyarakat ; ketaatan yang bercampur dengan pelanggaran.

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti takwa. Takwa ialah, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, jawab beliau.

Para ulama menegaskan: “Inilah takwa yang sebenarnya. Adapun mencampur-adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, ini tidak termasuk dalam bingkai takwa, meskipun dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.

Oleh sebab itu, para ahlul ilmi merasa heran terhadap sosok yang menahan (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tetapi masih menyukai perbuatan dosa.

Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan: “Kewajiban seorang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan larangan agama. Mengekang diri dari makanan, minuman, jima`, sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal yang dibolehkan. Sementara itu, ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. Pada bulan suci, larangan tersebut tentunya menjadi lebih tegas”.

Maka, sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang dibolehkan (diluar Ramadhan) seperti makan dan minum, namun tidak merasa alergi dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan setiap waktu, seperti ghibah, namimah, mencaci, mencela, mengumpat, memandang perempuan ajnabiah (menonton film, pent) dan lain-lain. Semua ini mengikis pahala puasa.

Masalah lain yang perlu diperhatikan, yaitu amalan fardhu. Aktifitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan ialah : Mendirikan shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid (bagi laki-laki), dan berusaha sekuat tenaga tidak tertinggal takbiratul ihram.

Telah diuraikan dalam suatu hadits, barangsiapa yang melaksanakan shalat 40 hari bersama imam dan mendapati takbiratul ihram, ditulis baginya dua jaminan surat kebebasan, (yaitu) bebas dari api neraka dan nifaq. Hadits ini shahih.

Seandainya kita, ternyata termasuk orang-orang mufarrith, yaitu amalannya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya, menjaga amalan fardhu pada bulan Ramadhan merupakan ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita mendapati orang yang bersemangat melaksanakan shalat Tarawih, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun pada saat yang sama, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang lebih memilih tidur, sehingga melewatkan shalat wajib, dengan dalih persiapan untuk shalat tarawih?! Demikian ini merupakan kebodohan dan pelecehan terhadap kewajiban…!

Sungguh, mendirikan shalat lima waktu bersama imam saja, tanpa melakukan shalat Tarawih satu malam pun, lebih baik daripada mengerjakan shalat Tarawih, namun menyia-nyiakan shalat fardhu yang lima waktu. Ini bukan berarti kita memandang remeh terhadap shalat Tarawih, akan tetapi, seharusnya seorang muslim itu menggabungkan keduanya, memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang fardhu (shalat lima waktu), baru kemudian melangkah menuju amalan sunnah, seperti shalat Tarawih.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat agung, bulan yang teramat istimewa. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang memanfaatkannya. Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi orang yang menginginkan kebaikan di sisi Allah Azza wa Jalla. Salah satu kesempatan emas itu ialah adanya Lailatul Qadar. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al Qur`an :

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu lebih baik dari seribu bulan“. [Al Qadar/97 : 3].

Karenanya, marilah kita berusaha untuk mendapatkannya, dan mengisi Lailatul Qadr itu dengan beramal shalih.

Sebagaimana tuntunan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, hendaklah umat ini berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Lailatul Qadr pada tujuh hari yang tersisa dari sepuluh hari yang terakhir. Atau dalam hadits Abu Hurairah, carilah dia (Lailatul Qadr) pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Karenanya, seyogyanya setiap muslim bergegas untuk mencarinya dengan memperbanyak amal ibadah dengan tekun.

Para Salafush shalih berusaha meraih Lailatul Qadr pada malam 21. Sebagian yang lain pada malam 23. Sebagian yang lain pada malam 27. Sebagian yang lain mencari pada malam 24. Dan hampir-hampir pada setiap malam 10 hari terakhir. Maka mengapa kita tidak mencontoh para salafush shalih? Marilah kita berusaha secara maksimal pada 10 terakhir bulan Ramadhan ini, dengan menyibukkan diri beramal dan beribadah, sehingga bisa menggapai pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan hanya sedikit amalan, kita bisa menggenggam pahala, lantaran orang yang beramal pada malam Lailatul Qadr ini akan menyamai amalan ibadah selama seribu bulan.

Kalau ada orang yang tidak berusaha mencarinya kecuali pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan (dengan asumsi Lailatul Qadr jatuh pada tanggal ini atau itu), walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia -sama sekali- tidak akan pernah mendapatkan moment tersebut. Selanjutnya hanya penyesalan yang ada.

Sekali lagi, hendaklah setiap muslim beramal dan beribadah pada setiap malam sepuluh terakhir itu seraya berkata “malam ini adalah malam Lailatul Qadr”. Andai dugaannya meleset, dia perlu mengingat, bahwa sesungguhnya malam itu termasuk sepuluh terakhir Ramadhan, malam yang paling utama selama Ramadhan. Sebagian ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat, bahwa 10 hari terakhir Ramadhan lebih afdhal dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah.

Wallahu ‘alam bish shawab.

(Diangkat berdasarkan untaian nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, pada malam Jum’at, 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurrain).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/32370-agar-ramadhan-bermakna-indah-2.html